Beberapa Mitos Dalam Dunia Kedokteran
1. Pasrah sepenuhnya pada dokter Dalam keadaan sakit dan galau, umumnya pasien pasrah saja pada tindakan dokter. Sebab lainnya, pasien j...
http://ardhastres.blogspot.com/2011/10/beberapa-mitos-dalam-dunia-kedokteran.html
1. Pasrah sepenuhnya pada dokter
Dalam keadaan sakit dan galau, umumnya pasien pasrah saja pada tindakan dokter. Sebab lainnya, pasien juga menganggap dokter sangat memahami obat-obatan. Kenyataannya? "Dokter juga manusia! Bisa mempunyai banyak kekurangan dan berbuat salah. Apalagi, kemajuan ilmu kedokteran dan obat-obatan terjadi sangat pesat. Misalnya, obat yang di luar negeri sudah tidak diberikan, namun karena dokter tidak selalu up to date dengan informasi, bisa saja tetap meresepkan obat tersebut pada pasien," tandas Dr Wati.
2. Antibiotik adalah obat dewa
Antibiotik sangat berperan memerangi penyakit yang disebabkan bakteri. Ironisnya, banyak pasien mendapat (dan meminta!) antibiotik ketika demam, radang tenggorokan, dan diare, yang disebabkan virus. Sebabnya, masih banyak dokter yang berpikir dalam keadaan demikian antibiotik tetap perlu diberikan supaya penyakitnya cepat sembuh, atau untuk berjaga-jaga terhadap infeksi tambahan (yang belum tentu terjadi). Secara tidak langsung, kebiasaan ini membuat pasien ikut tersugesti bahwa antibiotik adalah "obat dewa", sehingga sering menagih dokter bila tidak diresepkan.
3. Suntik supaya lebih cespleng
Di negara berkembang, persentase pemberian obat suntik (yang semestinya bisa diberikan secara oral) berkisar antara 20 sampai 76 persen. Padahal selama masih bisa diberikan secara oral, obat suntik tidak diperlukan. Selain menimbulkan rasa sakit dan biayanya lebih mahal, obat suntik meningkatkan risiko efek samping obat dan memungkinkan masuknya bakteria saat proses penyuntikan.
4. Puyer untuk penyakit "langganan" anak-anak
Puyer sepertinya sudah identik sebagai obat anak, sehingga banyak orangtua menganggap, untuk penyakit harian seperti batuk, pilek, flu, dan demam pun anak perlu puyer. Pemahaman inilah yang salah. "Komposisi puyer yang menggabungkan beberapa jenis obat sekaligus terlalu berlebihan. Apalagi, untuk penyakit harian yang tidak perlu obat," kata Dr Wati. Pemberian puyer sendiri masih pro-kontra, sehingga memanfaatkannya pun harus ekstra hati-hati (lihat: Pro kontra puyer, bagaimana menyikapinya?).
5. Obat mahal lebih berkualitas
Tidak dipungkiri, masih banyak pasien beranggapan bahwa kualitas obat sebanding dengan harganya. Akibatnya, ketika dokter memberi resep obat yang harganya jauh lebih mahal dari obat generik, mereka tidak keberatan. Sebagian di antaranya, bahkan merasa lebih mantap bila diberi obat mahal karena menganggap obat itu adalah obat paten.
Padahal, menurut Dr Marius, obat yang disebut obat paten oleh oknum dokter itu sering berupa obat generik yang diberi label. "Misalnya antibiotik generik bernama amoxicillin, bila diproduksi pabrik "Tuti" dengan kandungan yang sama, namanya menjadi "Tuticilin" yang dijual 40 sampai 80 kali lipat lebih mahal dari obat generik," demikian penjelasan Dr Marius, yang menilai bahwa ketidakjujuran oknum dokter dalam meresepkan obat generik berlabel merupakan faktor utama penyebab salah kaprah ini.
6. Berobat = mendapat resep obat
Tidak sedikit pasien yang menganggap bahwa konsultasi medis merupakan kunjungan berobat alias upaya meminta obat. Sehingga ada perasaan kecewa, seandainya kunjungan ke dokter hanya berakhir pada diskusi atau anjuran untuk istirahat.
Catatan Ardha
http://ardhastres.blogspot.com
bee, how are you??
ReplyDeleteSepertinya tak asing ini
ReplyDeleteperhaps...ingat aja yg suka panggil itu siapa, kalo gak ingat innalillahi aja deh,,
ReplyDeleteanggep aja banyak
ReplyDeletemengelak aja
ReplyDeleteInfo bagus gan :)
ReplyDelete@shinigami makasih, makasih juga udah mampir di blog yang sederhana ini :)
ReplyDelete@Anonim di atas ini
ReplyDeleteTolong jangan Out Of Topic dari Postingan ini